Karakter (character)
mengacu pada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (beharivours), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti
keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti
berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,
mempertahankan prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan
interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara
efektif dalam berbagai keadaan dan komitmen untuk berkontribusi dengan
komunitas dan masyarakatnya. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang
yang berusaha melakukan hal yang terbaik.
Karakter menurut
Alwisol (2006: 8) diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan
nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun imlisit. Karakter
berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari
nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian maupun karakter berwujud tingkah
laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relatif permanen serta
menuntun, mengarahkan dan mengorganissasikan aktivitas individu.
Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan dua hal utama yang perlu dilakukan bangsa Indonesia agar dapat mempertahankan eksistensinya. Keduanya seolah –olah merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Pembangunan bangsa harus berbarengan dengan pembangunan karakter demikian pula sebaliknya. Hal ini pula yang tersirat dalam syair lagu kebangsaan kita “bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Membangun jiwa adalah membangun karakter manusia dan bangsa. Inti karakter adalah kebajikan (goodnes) dalam arti berpikir baik (thinking good), berperasaan baik (feeling good) dan berperilaku baik (behaving good) (Budimansyah, 2010). Dengan demikian karakter itu akan tampak pada satunya pikiran, perasaan dan perbuatan yang baik dari manusia-manusia Indonesia atau dengan kata lain dari bangsa Indonesia.
Salah satu penerapan pembentukan karakter di lembaga pendidikan adalah pondok pesantren. Profesor Mastuhu (1988: 206) menjelaskan bahwa tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom (kebijaksanaa) berdasarkan pada ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari peran-peran dan tanggung jawab sosial. Setiap santri diharapkan menjadi orang yang wise (bijaksana) dalam menyikapi kehidupan ini. Dalam bahasa pesantren, wise bisa dicapai ketika santri menjadi seorang yang ‘alim, shalih dan nasyir al’ilm. Dalam hal ini, seorang santri diharapkan menjadi manusia seutuhnya, yaitu mendalami ilmu agama serta mengamalkannya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Idealisasi output santri menjadi seorang yang ‘alim shalih seperti ini kemudian diterjemahkan dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip hidup sehari-hari di pesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri yang kemudian membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-tradisi di pesantren, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian dan keteladanan yang telah sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri khasnya. Secara lebih luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai kesungguhan dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan sesuai selera pribadinya. Sikap hidup ini menekankan pada proses daripada hasil. Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa besar, dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Prinsip ikhlas ini juga ditopang dengan prinsip kesederhanaan. Pola hidup sederhana terlihat mulai dari cara santri berpakaian, menyediakan makanan dan minuman dalam diet sederhana. Sederhana tidak berarti kekurangan, namun sikap hidup sederhana yaitu tidak berlebihan meskipun halal. Prinsip hidup sederhana ini juga tampak pada nilai yang dikembangkan, yaitu selalu hidup sabar, tawakkal, zuhud dan wira’i (Nafi’, 2007).
Prinsip hidup yang seperti itulah yang menjadi karakter dan kekuatan utama pesantren yang kemudian nampak dalam ketulusan, sikap zuhud dan kecintaan kepada ilmu-ilmu agama yang sangat tinggi yang mewarnai kehidupan pesantren. Sejak seorang santri memasuki pesantri ia mulai diperkenalkan dengan dunia tersendiri, dimana peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Hal itu tampak dari jadwal dan disiplin ketat dalam menjalankan ibadah ritual seperti shalat berjama’ah dan ibadah-ibadah lainnya di pesantren. Berangkat dari cara pandang terhadap kehidupan sebagai ibadah, maka para santri di pesantren dilatih untuk senantiasa tulus dan ikhlas dalam menjalankan semua aspek kehidupan. Santri senantiasa menjalankan semua yang diperintahkan kyai, bahkan dengan penuh kerelaan sorang santri bersedia menghabiskan seluruh waktunya untuk berkhidmat kepada kyai. Nilai luhur yang menjadi watak dasariah pesantren juga tampak dari sikap zuhud dan kesahajaan pesantren. Di tengah hingar bingarnya kehidupan, pesantren masih tetap bertahan dengan kesederhanaan dan kesahajaannya. Sehingga dari sikap hidup yang bersahaja ini, pesantren tetap kritis menyikapi perkembangan-perkembangan arus yang ada, termasuk arus modernisasi dan globalisasi (Haedari: 2005).
Prinsip dan nilai karakter tersebut dapat tercermin dari sebuah pondok pesantren. Dari sikap cinta seorang santri di pondok pesantren, kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti penghormatan seorang santri yang sangat dalam kepada ahli-ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja keras untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut dan kerelaan bekerja untuk nantinya mendirikan pesantrennya sendiri sebagai tempat menyebarkan ilmu, tanpa menghiraukan rintangan yang mungkin dihadapi kemudian. Secara tidak langsung, pembentukan karakter telah ditanamkan kepada para santri dan kesemua nilai-nilai tersebut membentuk sistem nilai tersendiri dalam dunia pesantren sehingga pada gilirannya dapat menopang watak umum kemandirian santri.
Sumber :
Alwisol.
2006. Psikologi Kepribadian. Malang :
UMM
Arismantoro.
2008. Character Building. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Budimansyah,
Dasim. 2010. Penguatan Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Membangun
Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara
Press
Dian
Nafi’, dkk. 2007. Praksis Pembelajaran
Pesantren. Yogyakarta. ITD Forum Pesantren
Mastuhu.
1988. Principles of Education in
Pesantren. Jakarta: Technical University Berlin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar